Bogor – Sejumlah orang tua atau wali santri Madrasah Aliyah (MA) Nurul Furqon sepakat mengambil langkah hukum terkait aksi pemukulan kepada salah seorang santri yang diduga telah melakukan tindak pidana pencurian yang terjadi di madrasah tersebut beberapa waktu lalu.
Pasalnya, pihak Pengelola Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Furqon dianggap melakukan diskiminasi dengan tidak mengikutsertakan ujian Syahadah Al Quran.
Sekitar 10 orang tua atau wali santri tersebut, pada Sabtu, 10 Mei 2025 mendatangi kantor lembaga bantuan hukum (LBH) Bogor, dan memberikan kuasa hukum kepada Irawansyah, S.H., M.H., & Partner selaku pimpinan untuk mengawal proses hukum.
Kuasa hukum dari LBH Bogor Irawansyah menyatakan bahwa para santri yang menjadi kliennya dikenai sanksi sepihak oleh pihak Pondok Pesantren, berupa pencabutan hak mengikuti Syahadah Al Quran, hanya karena terlibat dalam insiden pemukulan terhadap seorang santri lain yang melakukan pencurian.
“Seharusnya pihak pesantren melakukan pembinaan kepada semua pihak yang terlibat. Namun ironisnya, anak-anak ini justru mendapatkan perlakuan tidak adil setelah orang tua pelaku pencurian melaporkan mereka ke pihak Polres Bogor,” ujar Irawansyah kepada wartawan.
Menurut Irawansyah, sikap pondok pesantren tidak hanya diskriminatif, tetapi juga tidak adil karena tidak menindak pelaku pencurian, padahal bukti-bukti kehilangan barang telah dikumpulkan.
“Kami juga akan melaporkan pelaku pencurian dan pihak yayasan ke Polres Bogor. Kami memiliki bukti atas hilangnya barang milik santri,” tegasnya.
Salah satu wali santri yang berinisial F mengungkapkan bahwa insiden pemukulan terjadi pada November 2024 sebagai reaksi atas pencurian yang berulang di lingkungan pondok.
“Sudah banyak barang santri yang hilang sebelumnya, dari baju, celana, sarung, hingga sepatu dan jaket. Anehnya, pihak pesantren tidak mengambil tindakan serius terhadap pencurian itu,” ucapnya.
Namun pada 9 Mei 2025, wali santri menerima surat dari Yayasan Nurul Furqon Al Husni yang menyatakan bahwa anak-anak mereka tidak diizinkan mengikuti Syahadah Al Quran.
Terkait hal tersebut, F menilai keputusan ini sangat merugikan, mengingat perjuangan para santri selama bertahun-tahun untuk menyelesaikan hafalan Al Quran.
“Kami kecewa dan merasa anak-anak kami telah diperlakukan tidak adil. Kami berharap laporan ini menjadi pelajaran dan mendorong adanya keadilan di lingkungan pendidikan pesantren,” pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak pengelola pondok pesantren belum memberikan pernyataan resmi terkait laporan tersebut.***