Jakarta – Harianesia – Permasalahan narkotika semakin menggurita sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam undang-undang tersebut, hakim diberi kewenangan untuk memberikan rehabilitasi. Namun, kewenangan itu jarang digunakan. Sebaliknya, para pelaku kejahatan narkotika lebih sering dijatuhi hukuman pidana.
“Dari sejak hakim mulai menghukum pidana penyalah guna narkotika, dan hukuman penjara menjadi yurisprudensi, penegakan hukum narkotika seperti mendapatkan durian runtuh,” tulis Komjen Pol (Purn.) Anang Iskandar, S.IK., S.H., M.H., Pakar Hukum Narkotika sekaligus mantan Kepala BNN, dalam unggahan Instagramnya pada Kamis (5/12/24).
Lebih lanjut, Anang menjelaskan bahwa kondisi tersebut membuat semua aparat penegak hukum berlomba-lomba menjadi bagian dari penegakan hukum narkotika.
“Penyidik narkotika menjadi favoritnya para penyidik, penuntut umum narkotika menjadi favoritnya para jaksa, dan hakim narkotika menjadi favoritnya para hakim,” tandasnya.
**Lapas Jadi Korban Penegakan Hukum**
Namun, ia menyoroti bahwa lapas menjadi korban dari proses penegakan hukum ini akibat terjadinya overkapasitas. “Overkapasitas lapas seolah menjadi berkah terselubung (blessing in disguise), karena memenjarakan penyalah guna narkotika tidak ada yang merasa dirugikan kecuali keluarga penyalah guna itu sendiri,” jelasnya.
Anang juga mengkritisi implementasi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang sebenarnya mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. Namun, penegak hukum masih cenderung mempidanakan para penyalah guna tersebut.
**Langkah untuk Memberantas Narkotika**
Anang menegaskan, jika dirinya menjadi presiden, ia akan memprioritaskan langkah non-pidana dalam merehabilitasi penyalah guna narkotika.
“Saya akan memerangi kejahatan narkotika dengan mengutamakan rehabilitasi bagi penyalah guna, diikuti penegakan hukum terhadap pengedar narkotika, serta menindak Tindak Pidana Pencucian Uang hasil kejahatan narkotika dengan perampasan aset menggunakan pembuktian terbalik di pengadilan,” tegasnya.
Ia menambahkan, langkah tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh para penegak hukum.
“Hal ini penting agar keadilan tetap terjaga,” pungkasnya.
Editor : Dwi Wahyudi