JAKARTA ,-Hakim diberi
kewajiban UU no 35 tahun 2009
tentang narkotika untuk memutus
terdakwa menjalani rehabilitasi bila
terbukti bersalah melakukan tindak
pidana penyalahgunaan narkotika
dan menetapkan terdakwa
menjalani rehabilitasi bila terbukti
tidak bersalah melakukan tindak
pidana penyalahgunaan narkotika
(pasal 103).
Amanat tersebut dilanggar oleh
hakim yang mengadili perkara
narkotika yang terbukti sebagai
penyalah guna bagi diri sendiri,
praktiknya hakim justru memutus
terdakwa penyalah guna narkotika
sesuai dakwaan jaksa dengan
hukuman pidana dengan
berpedoman SEMA no 3 tahun
2015, padahal jaksa salah
dakwaan.
Jaksa mendakwa penyalah guna
dengan pasal 112 dan pasal 114
yang seharusnya pasal tersebut
diperuntukan bagi penyedia
narkotika dan pedagang perantara
sedangkan pasal 127/1 tidak
didakwakan, fakta persidangan
terdakwa terbukti sebagai
penyalah guna bagi diri sendiri.
Hal ini ditegaskan oleh Komjen Pol (p) Dr.Anang Iskandar,S.IK.,SH.,MH Pakar Hukum Narkotika, mantan Kepala BNN dalam unggahan tertulis di Instagram Pribadi Rabu (29/1/2025).
Menurutnya “Berdasarkan UU no 35 tahun 2009
tentang narkotika hakim
seharusnya berpedoman pada
pasal 4 d dan pasal 127 ayat 2
serta pasal 103 untuk memutus
yang bersangkutan menjalani
rehabilitasi, tetapi praktiknya
Mahkamah Agung melalui SEMA
no 3 tahun 2015 membuat
rumusan hukum berdasarkan pasal
182 ayat 3 dan 4 KUHAP untuk memutus sesuai dakwaan jaksa
dan dapat menyimpangi hukuman
pidana minimum dengan
pertimbangan yang cukup tandasnya.
Anang juga menegaskan “Petunjuk Mahkamah Agung dalam
SEMA no 3 tahun 2015 untuk
memutus sesuai dakwaan jaksa
dan hakim dapat menyimpangi
hukuman minimum khusus dengan
pertimbangan yang cukup adalah
rumusan hukum yang tidak
berdasarkan tujuan dibuatnya UU
narkotika dan kewajiban hakim
berdasarkan UU narkotika
Maka Ketua Mahkamah Agung
berkewajiban merevisi atau
mencabut rumusan hukum dalam
SEMA no 3 tahun 2015 yang nyata
nyata tidak berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika tapi berdasarkan KUHP.
Editor : D.Wahyudi