
Tidak berhenti di situ, pada 7 Mei 2025, wartawan Fakih bersama sejumlah rekan media mencoba mendatangi langsung Kantor Kelurahan Tugu. Namun, Tri Sakti Anggoro kembali tidak berada di tempat, dan pesan lanjutan yang dikirimkan juga diabaikan.
“Sulit dihubungi, tidak ada di tempat, dan tidak merespons pesan padahal ini menyangkut informasi publik dan kondisi lingkungan di wilayahnya,” ujar Fakih, salah satu wartawan yang hadir.
Ketidakterbukaan ini menimbulkan pertanyaan besar: ada apa dengan Kelurahan Tugu? Mengingat posisi Lurah sebagai pejabat publik, seharusnya memiliki kewajiban moral dan hukum untuk bersikap terbuka serta responsif terhadap masyarakat dan pers.
Aktivis lingkungan Jeffry, turut angkat suara.
“Jika lurah saja tertutup terhadap wartawan, bagaimana dengan masyarakat? Ini menyangkut isu lingkungan yang makin mengkhawatirkan di wilayah Tugu dari sampah, ruang hijau yang menyempit, hingga dugaan pembiaran terhadap pelanggaran tata ruang,” tegasnya.
Menurut Jeffry, sikap seperti ini dapat melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mewajibkan setiap badan publik memberikan akses informasi yang benar, cepat, dan sederhana.
Lebih lanjut, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa partisipasi masyarakat dan akses informasi adalah bagian dari perlindungan lingkungan yang berkeadilan.
“Pejabat publik tidak bisa berlindung dalam diam. Diam berarti mengabaikan. Dan mengabaikan berarti tidak layak menjabat,” tambah Jeffry.
Publik kini menunggu langkah konkret dari pemerintah kota, khususnya Dinas terkait, untuk menegur atau mengevaluasi kinerja aparatur kelurahan yang dinilai tidak proaktif, tidak transparan, dan abai terhadap isu lingkungan serta komunikasi publik.