Tuban, Jawa Timur – Harianesia – Sidang kasus dugaan pemerasan yang melibatkan 12 terdakwa digelar di Pengadilan Negeri Tuban, Jawa Timur, pada 4 Desember 2024. Para terdakwa didakwa dengan Pasal 368 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP. Namun, fakta bahwa mereka menjalani proses hukum tanpa pendampingan kuasa hukum menuai sorotan tajam, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam KUHAP.
Fakta Dakwaan
Para terdakwa dituduh melakukan pemerasan secara bersama-sama, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat 1 KUHP, yang mengancam pelaku dengan pidana penjara bagi tindakan pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pasal 55 ayat 1 KUHP turut memperkuat dakwaan atas keterlibatan kolektif para terdakwa.
Pada sidang perdana, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan tanpa kehadiran kuasa hukum yang mendampingi para terdakwa. Hal ini menjadi tanda tanya besar terkait kepatuhan terhadap hukum acara pidana yang berlaku.
Indikasi Pelanggaran KUHAP
Ketidakhadiran kuasa hukum dinilai bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, yang secara tegas mewajibkan pendampingan hukum bagi terdakwa yang menghadapi ancaman pidana berat. Bahkan dalam kasus ancaman pidana lebih ringan, hak atas pendampingan tetap dijamin demi menjaga prinsip fair trial.
“Proses hukum tanpa kuasa hukum membuka celah pelanggaran serius terhadap hak-hak terdakwa dan mencederai asas peradilan yang adil,” ujar seorang pengamat hukum yang tidak ingin disebutkan namanya.
Minimnya Tanggung Jawab Pengadilan dan Jaksa
Pengadilan Negeri Tuban belum memberikan tanggapan resmi atas kondisi ini. Jaksa berdalih bahwa para terdakwa tidak mengajukan permohonan pendampingan hukum melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Namun, argumen ini dinilai tidak cukup oleh pengamat hukum. “Jaksa dan pengadilan berkewajiban aktif memastikan bahwa hak-hak terdakwa terpenuhi, termasuk memberikan informasi memadai terkait pendampingan hukum,” kritik seorang pengamat.
Pentingnya Pendampingan Hukum
Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jawa Timur menegaskan bahwa pendampingan hukum merupakan bagian esensial dari sistem peradilan pidana yang adil. “Tanpa kuasa hukum, proses peradilan bisa menjadi berat sebelah dan rawan penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.
Kesimpulan dan Tuntutan
Kasus ini tidak hanya mengungkap dugaan pemerasan, tetapi juga mencerminkan potensi pelanggaran serius terhadap hak-hak terdakwa. Pengadilan dan JPU diharapkan segera mengambil langkah konkret untuk memastikan proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan hukum yang berlaku.
Sidang lanjutan dijadwalkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi. Publik menanti apakah pengadilan akan memperbaiki situasi ini atau justru membiarkan pelanggaran berlanjut.
Editor : Tim Redaksi Harianesia