Permulaan kasus ini bermula dari permintaan pribadi Hormat Frieskaria agar Ketua Umum PKN membantu anaknya, Michael, agar tak di-drop out dari kampus. Upaya tersebut sempat ditindaklanjuti oleh Mangapul Sirait secara kekeluargaan, namun berlanjut ke permintaan kerja paksa agar Michael diterima di LKBH-PKN dengan gaji Rp6 juta per bulan — permintaan yang tak lazim mengingat status Michael masih magang dan belum lulus.
Ketegangan meningkat saat Hormat Frieskaria tidak menerima sistem kerja magang yang disiplin di LKBH-PKN, termasuk larangan penggunaan handphone pribadi di jam kerja. Permintaan ditolak, namun yang terjadi kemudian mengejutkan: Hormat Frieskaria diduga merampas sebuah kendaraan GrandMax putih bernopol B 9552 FCH — kendaraan yang tengah berstatus sebagai barang bukti dan masih dalam pembiayaan leasing.
Upaya pengambilan paksa mobil oleh Hormat Frieskaria dan rombongan termasuk beberapa oknum wartawan pada 23 Januari 2025 dini hari di kediaman Ketua Umum PKN gagal karena diintervensi oleh Polsek Rawalumbu. Peristiwa ini memicu laporan pidana terhadap Hormat dan kawan-kawan, termasuk Michael Panjaitan, dengan tuduhan pencemaran nama baik, fitnah, dan pelanggaran UU ITE.
Alih-alih mereda, eskalasi justru semakin meningkat. Hormat Frieskaria beserta sekelompok eks-pengurus PKN yang telah diberhentikan, diduga bersatu menyerang balik dengan melaporkan Dakka Duri Busisa ke Dewan Kehormatan Daerah (DKD) Peradi Jawa Barat. Laporan ini dinilai tak berdasar, penuh kebencian pribadi, dan sarat motif pembalasan atas keputusan organisasi.
Sidang etik di Dewan Kehormatan Peradi pada 17 Mei 2025 menjadi ajang pembuktian. Dalam sidang tersebut, Ketua Umum PKN Mangapul Sirait dan Putri Auliana Syiffa, S.Ak., hadir sebagai saksi membantah seluruh tuduhan Hormat Frieskaria. Dakka Duri Busisa, S.H dengan lugas dan tenang membantah tuduhan, menyebut semua yang disampaikan lawan sebagai “omon-omon” alias fitnah kosong.
Meski sempat diwarnai provokasi dan teriakan tidak pantas dari pihak lawan saat konferensi pers, tim DPP-PKN memilih tidak terprovokasi dan tetap menjaga profesionalisme.
Kasus ini membuka mata publik akan bahaya kriminalisasi terhadap advokat yang berintegritas serta menunjukkan betapa kepentingan pribadi yang tidak dituruti dapat berujung pada manuver hukum yang manipulatif.