Jakarta – Harianesia – Lebih dari 132.000 orang telah menandatangani petisi yang mendesak pemerintah untuk segera membatalkan kenaikan ppn menjadi 12% melalui https://chng.it/2Wqbmmj624 dan sampai saat ini angka penandatanganan petisi ini terus bertambah. Petisi ini sebagai respon akan kebijakan pemerintah terkait kenaikan PPN dan pengumumannya telah secara resmi dikeluarkan pada 16 Desember kemarin.
7 Menteri pada Kabinet Merah Putih di Bidang Ekonomi menyampaikan langsung paket ekonomi 2025 termasuk kenaikan PPN 12% yang berlaku 1 Januari 2025. Dari paket ekonomi 2025 tersebut kami koalisi menilai bahwa pembebasan PPN bagi bahan makanan pokok dan jasa tertentu merupakan kebijakan lama yang didaur ulang Kabinet Merah Putih. Hal ini dapat terlihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 yang secara spesifik mengeluarkan bahan makanan pokok dan jasa tertentu dikenakan PPN.
Kebijakan kenaikan PPN 12% ini sepaket dengan Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan yang dijadikan insentif, namun tidak tepat sasaran dan bentuk insentif pada orang kelas atas. Kebijakan kuratif dengan pemberian paket pangan kepada masyarakat dalam rentang waktu tertentu merupakan kebijakan rentan dikorupsi dan menihilkan praktik permainan harga yang justru merupakan akar masalah dari tingginya harga-harga pangan yang berkontribusi melemahnya daya beli masyarakat.
Kami juga menilai bahwa beragam pembebasan pajak untuk kendaraan listrik dan hybrid roda empat seperti pembebasan pajak barang mewah, bea masuk, dan PPN bertentangan dengan asas keadilan pajak, terkhusus masyarakat kelas menengah-bawah yang tidak menikmati dan bahkan dibebankan kenaikan pajak. Pembebasan pajak barang mewah ini justru memperlebar ketimpangan dan ketidakadilan. Selain itu, PPN ditanggung Pemerintah bagi pembelian rumah dengan harga jual s.d. Rp5 miliar atas Rp2 miliar pertama berpotensi tidak tepat sasaran dan hanya dinikmati desil atas yang memiliki aset atau bisnis properti.
Kenaikan PPN 12% ini pun memiliki dampak berbeda bagi perempuan. Efek domino dari kenaikan PPN 12 persen ini justru akan berdampak pada tambahan beban perempuan dalam memenuhi kebutuhan keluarga, seperti kebutuhan spesifik perempuan (misalnya: pembalut) yang tidak masuk pada daftar pengecualian. Kebijakan ini juga dinilai akan menambah beban kerja-kerja perawatan perempuan demi menekan pengeluaran keluarga. Sehingga kebijakan kenaikan PPN 12 persen tidak berpihak pada perempuan, terutama perempuan kelas menengah-bawah.
Perbaikan kemudahan mengakses Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bukan solusi yang tepat untuk masalah ketenagakerjaan di tengah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak cukup dan memadai, kenaikan UMP yang tidak cukup mengkompensasi tekanan ekonomi, jaminan sosial ketenagakerjaan yang belum merata, dan lain sebagainya. Jaminan kecelakaan kerja pada sektor padat karya selama 6 bulan bukan insentif tapi sudah kewajiban pemberi kerja.
Atas dasar ini, maka koalisi melihat bahwa kebijakan *Paket Ekonomi 2025 dan kenaikan PPN 12% adalah Solusi Palsu Paket Ekonomi 2025.* Untuk itu koalisi mendesak:
1. Tata kelola keuangan negara yang berkeadilan dan meningkatkan pengawasan pengelolaan keuangan negara;
2. Hentikan kebijakan kenaikan PPN 12% yang meningkatkan beban ekonomi kelas menengah-bawah, termasuk meningkatkan ketimpangan ekonomi dan gender;
3. Hentikan gimmick komunikasi publik bahwa pemerintah hanya menaikkan PPN untuk barang mewah dan memberikan insentif ekonomi yang tepat;
4. Mendengarkan aspirasi masyarakat sipil dan ahli untuk setiap kebijakan ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak;
5. Pembahasan instrumen kebijakan fiskal yang berkeadilan, seperti : pajak kekayaan, pajak windfall komoditas ekstraktif, pajak produksi komoditas ekstraktif, pajak ekologis, harus segera diagendakan.
Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan Pajak
YLBHI, CELIOS, Trend Asia, Bareng Warga, Perhimpunan Jiwa Sehat, KIARA, Greenpeace Indonesia, Solidaritas Perempuan, Imparsial, Kalyanamitra, BEM SI Kerakyatan, Koalisi Perempuan Indonesia, PUSKAHA Indonesia, Enter Nusantara.
Editor : Tim Redaksi Harianesia