Jakarta – Harianesia – Kebijakan hukum dalam penanggulangan narkotika yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertujuan untuk memberantas peredaran gelap narkotika serta menjamin upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna. Namun, implementasi kebijakan ini, khususnya bagi penyalah guna (Pasal 127 Ayat 1) dan pecandu yang juga menjadi pengecer narkotika, sering kali tidak sesuai. Banyak dari mereka justru dihukum penjara dan mendekam di lapas karena tidak segera mendapatkan layanan rehabilitasi.
Hal ini disampaikan oleh Komjen Pol (Purn) Anang Iskandar, S.I.K., S.H., M.H., mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), melalui tulisan di akun Instagram pribadinya pada Jumat (28/11/2024).
Dalam tulisannya, Anang menyatakan, “Seandainya saya jadi presiden, saya akan memerintahkan kepada menteri atau kepala lembaga pemerintah non-kementerian yang memiliki fungsi penelitian hukum untuk meneliti manfaat dan mudarat memenjarakan penyalah guna narkotika, pecandu, dan penyalah guna yang berkarier sebagai pengecer narkotika.”
Anang menegaskan perlunya pendekatan rehabilitatif bagi penyalah guna narkotika, baik yang berstatus pecandu maupun korban penyalahgunaan. “Penyalah guna narkotika wajib menjalani rehabilitasi, sementara penyalah guna yang merangkap sebagai pengecer harus mendapatkan hukuman berupa rehabilitasi,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa hukum narkotika seharusnya didasarkan pada teori bisnis “demand and supply.” Dengan merehabilitasi semua penyalah guna narkotika hingga sembuh, permintaan terhadap narkotika akan menurun drastis, yang pada akhirnya membuat pengedar (supplier) kehilangan pasar.
“Dengan teori ini, pendekatan rehabilitatif harus lebih diutamakan dibanding pendekatan represif. Bahkan, suatu saat pendekatan represif mungkin tidak lagi diperlukan,” pungkas Anang.
Editor : Dwi Wahyudi